Senin, 30 November 2015

To love is to share,
What you have, what you are.
(St. Ignasius Loyola)

Di bagian selatan kota London, berdiri megah Universitas Goldsmith dengan ribuan mahasiswanya yang berasal dari berbagai negeri.  Dalam permainan monopoli ala Inggris, harga properti paling murah adalah di Old Kent Street yang berjarak amat dekat dari Universitas Goldsmith.  Hanya sekitar 10 menit jalan kaki.  Dalam kenyataannya, wilayah ini  memang tidak termasuk wilayah mahal sebagaimana Mayfair atau Oxford Street.  Banyak migran asal Nigeria tinggal di lokasi ini. 
Tiga orang suster FCJ bekerja paruh waktu di kampus ministri Universitas Goldsmith.  

Salah satu aktivitas  sosial di kampus ministri adalah soup-run.  Soup-run adalah kegiatan membagi sup kepada mereka yang memerlukan, tepatnya kepada orang-orang jalanan.  Mereka biasanya duduk meminta sedekah di emper pertokoan atau di sepanjang jembatan.  Soup-run di Universitas Goldsmith diadakan tiap hari Selasa, pukul 17.00-18.00.  Dua kelompok mahasiswa (bisanya terdiri atas dua atau tiga orang per kelompok),  keliling membawa termos sup dan menawarkannya kepada orang-orang jalanan di sekitar kampus.  Maksud dari kegiatan ini adalah agar mahasiswa terhubung dengan realitas sosial di sekitar kampus. 


Menjadi orang jalanan di negara tropis seperti Indonesia, jauh lebih mudah dibanding dengan orang jalanan di negara dengan empat musim.  Mereka bisa tidur di mana saja dan tidak harus berperang melawan cuaca dingin.  Di negara empat musim, situasinya amat berbeda.  Pada musim gugur seperti saat ini, pk. 17.00 berarti hari sudah gelap.   Beberapa hari yang lalu bahkan suhu mencapai 3 derajat celcius pada sore hari.  Kondisi ini akan makin parah jika hujan juga turun.  Pada musim dingin konon banyak orang jalanan yang meninggal karena kedinginan.  Makanan atau minuman hangat amat membantu untuk menghangatkan badan.  Kepada orang-orang jalanan yang duduk di di emperan toko dalam cuaca seperti itulah, sup panas ditawarkan.   Ada yang menerima namun ada pula yang menolak.

Senja itu, ketika kami sedang menawarkan sup kepada seorang perempuan yang duduk di ujung jembatan, tiba-tiba muncul lelaki gagah usia 40 an, memarahi kami.  Inti dari kemarahannya adalah bahwa tidak ada faedahnya memberi sup pada orang jalanan.   Perempuan tersebut, sebagaimana orang-orang jalanan lainnya,  tidak membutuhkan sup melainkan uang, tempat tinggal dan pekerjaan.  Ia juga mengatakan bahwa memberi sup sama dengan menghina martabat manusia.  Terhadap intervensi tersebut  kami menjawab bahwa hanya ini yang kami punya dan bisa kami bagikan dan lebih baik berbuat sesuatu meski sederhana dari pada tidak sama sekali.  “Memangnya apa yang telah Anda lakukan terhadap mereka?” tanyaku.  Itu membuatnya terdiam.

Diam dan meratapi keadaan tidak akan merubah apa pun.  Soup-run adalah sarana untuk menyapa mereka yang duduk menanti sedekah, yang biasanya sama sekali tidak ditengok oleh orang-orang yang lalu lalang.  Secangkir sup memang tidak akan mengubah situasi mereka namun marilah kita belajar dari St. Fransiskus Asisi yang mengatakan “Mulailah dengan melakukan  hal-hal yang perlu, kemudian lakukan hal-hal yang mungkin untuk dilakukan, dan segera kamu akan menyadari bahwa kamu sedang melakukan hal-hal yang tidak mungkin.”

 “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” 
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”
Yesus mengajarkan bahwa tindakan kasih sekecil apa pun yang kita berikan pada orang lain, kita lakukan untukNya.  St. Ignasius Loyola juga mengajarkan bahwa kasih hendaknya lebih diwujudkan dalam tindakan dari pada dalam kata-kata.  Hal tersebut memberi nilai lebih pada soup-run yang kami lakukan.   Itu adalah tindakan kasih yang menghangatkan tubuh dan jiwa orang lain.  Meski hanya sejenak.

Inez FCJ
New Cross, November 2015