Selasa, 03 September 2013

Bangga menjadi Sahabat Setia Yesus (FCJ)



 Bangga menjadi Sahabat Setia Yesus  
(Faithful Companion of Jesus/FCJ).

 Namaku Karolina, panggil saja Ina. Saya lahir dan besar di  Ende, walaupun orang tua berasal dari Lembata.  Saya alumni SMK Negeri I  Ende jurusan Managemen Bisnis.  Saya menjadi postulan FCJ (Faithful Companions of Jesus) sejak tanggal 9 Juni 2013,  setelah menjalani satu tahun masa aspiran.  O ya, selepas SMK saya bekerja dulu di Jakarta, di sebuah klinik seorang dokter.  Di tempat inilah benih panggilan saya mulai menampakkan kekuatannya.  Bagaimana saya mengenal dan akhirnya memilih bergabung dengan FCJ?
Kalau saya renungkan lagi, benih panggilan ini sudah mulai ditanamkan Tuhan sejak saya masih TK.  Waktu saya di TK, berusia sekitar 5 tahun, saya sudah bercita-cita menjadi suster.  Saya senang sekali  melihat sosok suster dengan jubahnya yang putih bersih itu.  Mama menjahitkan “baju suster” untukku, setelan blus putih dan rok biru, yang kukenakan dengan bangga ke sana-ke mari.  Saya masih menyimpan kostum tersebut sampai saat ini. 
Lalu ketika liburan sekolah, saya pergi ke Lembata. Di sana, saya melihat para suster dari sebuah kongregasi pergi  ke kampung-kampung pada musim kering, membantu masyarakat dengan bahan pangan karena ladang tak menghasilkan panenan.  Makin kuatlah keinginan saya menjadi suster agar dapat membantu orang miskin seperti para suster itu.
Masa remaja di Ende, yang juga diwarnai dengan mengenal lawan jenis, membuat benih panggilan dalam hati saya meredup. Namun sesungguhnya ia tidak benar-benar padam.  Ia tersembunyi dalam kegembiraan masa mudaku.  Selepas SMK saya berangkat ke Jakarta untuk bekerja di wilayah Menteng, yang masuk Paroki St. Theresia.  Saya ingin membantu keluarga sebelum memutuskan panggilan.
Dokter tempat saya bekerja adalah  seorang Katolik yang saleh, yang sering membawakan buletin paroki.  Melalui buletin itulah saya mengenal para imam Yesuit dan karya-karyanya.  Saya juga terkesan dengan sikap para romo di paroki, yang seusai misa, berdiri di halaman gereja guna menyapa dan menyalami umat.  Nuansa gereja St. Theresia berbeda dengan gereja-gereja lainnya.  Para imam di Gereja St. Theresia menumbuhkan ketertarikan saya pada semangat Ignasian – semangat yang mereka hidupi.    
Buku kenangan 100 tahun  Serikat Yesus  di Indonesia semakin menebarkan pesona dalam hatiku.  Buku tersebut antara lain berisi kisah romo-romo Yesuit awal di Indonesia.  Saya mulai berfikir, adakah kongregasi Ignasian  untuk perempuan?
Pada hari minggu panggilan, di gereja St. Theresia juga, saya mencoba mendekati beberapa kongregasi yang hadir. Namun saya merasa “belum pas”.  “Belum ada chemistry”  istilah populer saat ini.  Ada yang saya dambakan namun belum kujumpa.  Kalian pasti tahu bahwa cinta itu masalah hati yang bisa dirasa namun sulit dijelaskan.  Begitulah yang saya alami. 
 Setelah sepuluh tahun di Jakarta, saya memutuskan pulang kampung untuk mulai menimbang  panggilan saya.  Tanggal 3 Mei 2012 saya mendarat di Ende.  Langsung keesokan harinya saya bergegas ke Gereja St. Yosef – Onekore untuk bertemu pastor paroki.  Untuk apa?  Untuk mencari informasi tentang berbagai kongregasi suster yang ada di Ende. 
Di tempat inilah Tuhan mempertemukan saya dengan Sr. Beta FCJ. Saya yakin ini bukan pertemuan kebetulan. Tuhan menginginkan saya menjadi perempuan Ignasian – menjadi Sahabat Setia Yesus.   Begitu saya tahu bahwa FCJ adalah kongregasi Ignasian, saya merasa menemukan jodoh.  Saya tak berpaling ke lain hati.  Bahwa mereka tidak mengenakan jubah, itu tak menjadi persoalan bagi saya.  Saya ingin menjadi Sahabat Setia Yesus, itulah yang lebih mendasar.  Kini Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG), yang artinya demi kemuliaan Allah yang lebih besar, saya coba hidupi dalam hidup sehari-hari sebagai postulan.