TINGGALKAN ZONA AMAN
DAN NYAMAN
SELAMAT DATANG
KESULITAN DAN KELEMAHAN
Hari
ini awal perjalanan kami berziarah, napak tilas perjalanan St. Ignasius Loyola
menuju Navarette. Kota pertama yang kami
tuju adalah Legazpi. Grup kami berjumlah
29 yang berasal dari Hungaria, Polandia, dan tiga pendamping dari Spanyol.
Kemarin sore kusadari kuatnya perasaan
cemas, ragu-ragu, dan takut.
Inilah yang saya takutkan: wilayah Basque tidak bisa saya
bayangkan, cuaca bisa sangat panas. Ransel juga lumayan berat. Belum lagi jaraknya sekitar 135 km. Semalam saya tidak bisa tidur.
Kami
memulai perjalanan dengan berdoa di sanctuary Inigo – tepatnya di kapel tempat
dia dulu terbaring sakit. “Ignasius,
saya tidak merasa cukup yakin dengan kekuatanku. Tolonglah saya untuk berserah
pada kekuatan Tuhan.” Rahmat yang kuminta hari ini
kudoakan sepenuh hati. Bacaan KS
mengutip perjalanan Abraham
meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah yang bahkan untuk
membayangkan saja ia tak mampu (Kejadian
12: 1-5). Saya diingatkan bahwa sesuatu yang baru menunggu di depan sana, entah
apa pun itu. Hujan turun lumayan deras ketika
kami memulai perjalanan.
Bacaan
kisah Ignasius pagi ini melukiskan kerinduan hatinya untuk pergi ke Navarette
guna menyelesaikan hutangnya sebelum ia melanjutkan perjalanannya menuju masa
depan yang sama sekali belum jelas.
Adalah mengharukan membayangkan bagaimana Martin, kakaknya, berusaha
mencegahnya pergi dengan menuntunnya dari satu ruangan ke ruangan lain di Puri Loyola. Kubayangkan bahwa ia
pun, pada saat itu, mengingat belum paham juga apa yang akan Tuhan tunjukkan, mestinya
tidak serta-merta hatinya gilang-gemilang mantab meninggalkan Puri Loyola. Namun ia tidak terbujuk. Ia pergi juga dan baru kembali bertahun-tahun
sesudahnya.
Saya
juga membuat kesalahan fatal yang baru saya sadari di tengah perjalanan menuju
Legazpi. Saya tidak mengenakan sepatu yang layak untuk jalan jauh. Saya memilih mengenakan sandal gunung. Lima
kilometer menjelang Legazpi kedua telapak kaki perih sebelum akhirnya kuketahui
bahwa keduanya melepuh. Rasanya perih, berdenyut-denyut sakit, dan kalau untuk menapak seperti
ada gelembung di telapak kaki. Kelak di akhir perjalanan, sandal dan kaki
melepuh itulah sumber rahmat yang mengalir secara berlimpah-ruah. Ketika akhirnya tiba di Legazpi hari sudah
menunjuk pk. 17.00 dengan kaki
lelah dan melepuh.
Di
Legazpi saya menyesali kebodohan dan merasa semakin ragu-ragu dengan perjalanan
enam hari ke depan. Akan bisakah
saya menyelesaikan ziarah
dengan kondisi kaki seperti ini? Sanggupkah sandal ini bertahan hingga tujuh
hari? Inilah yang saya bicarakan dengan Tuhan.
“Tuhan,
saya telah membuat kebodohan. Saya ragu-ragu apakah sepatu ini akan bisa tahan
sampai ke hari ke tujuh. Mohon rahmatMu. Saya tidak bisa mengandalkan sepatu melainkan
kemurahan hatiMu semata.”
Perbedaan perjalanan kali ini dengan
perjalanan-perjalananku
sebelumnya adalah dalam hal mengandalkan kekuatan Tuhan. Baru kusadari bahwa
selama ini ketika melakukan perjalanan, tanpa sadar, andalan saya adalah antara
lain pengenalan landscape dan perlengkapan yang lumayan komplet. Kali ini? Baru sehari perjalanan saja ke dua tapak kaki
sudah melepuh, bagaimana dengan besok? Saya cemas sekali namun berusaha pasrah.
Rombongan
mulai bergerak meninggalkan
Legazpi pk. 10.00 menuju Arantzazu dengan melintasi gunung Arriurdin (1.272
mdpl). Memang tidak setinggi
gunung-gunung di Jawa namun rasanya berat sekali. Mulai hari ini dan seterusnya
saya selalu berjalan paling belakang. Kami
menempuh hutan yang lebat dan amat sunyi. Jalan mendaki sangat
curam. “Tidak perlu cepat,” kataku dalam hati, “yang
penting konstan.” Seiring irama napas dan langkahku, kusebut nama
Yesus. Ketika kaki kanan melangkah kusebut “YE” dan pada langkah kaki kiri kusebut “SUS”. Setiap langkah adalah doa YESUS.
Kulihat
seorang peserta laki-laki yang konon seorang pebola basket, mulai pucat dan
berkeringat. Ia kesulitan bernapas.
Jadi jalur ini memang berat, tidak saja karena kecuramannya namun juga karena
udaranya yang
kering. Ada Xavi dan Michal Kocon yang menemaninya bahkan akhirnya membawakan ranselnya.
Kerelaan
mereka mengambil
beban orang lain di jalur yang tidak mudah ini, menyentuh hatiku.
Istirahat
siang di titik yang indah sekali. Bukit-bukit di kejauhan berwarna kebiruan. Saya
tak mampu bicara saking terkesima.
Selanjutnya adalah kembali perjalanan dalam doa, ketekunan, kesabaran,
kesetiaan melangkah,
dan kepasrahan yang kusadari. Karakter gunung adalah semakin curam tanjakannya ketika mendekati puncak. Gunung Arriuddin pun tak beda halnya
dengan gunung-gunung lainnya. Ia juga
berkerikil dan berbatu. Ini
amat menyakitkan telapak kaki. Saya membayangkan
berjalan bersama Ignasius yang selain pincang juga tidak mengenakan
sepatu. Ia pejalan kaki yang luar biasa.
Saya kembali bersemangat.
Pukul 15.45 kami tiba di pelataran
gunung yang bernama Biozkorne (1.200 mdpl) lalu meluncur turun menuju
pertapaan. Perjalanan menurun terasa lebih sulit. Sudah
kurasakan lutut kanan mulai nyeri begitu perjalanan menurun semakin curam.
Selanjutnya Michal Kocon yang mengangkat carrier tersebut sampai ke Arantzazu.
Perlu kerendahan hati untuk merelakan dirimu dibantu.
Kami tiba di Arantzazu
pk. 17.00. Arantzazu adalah sebuah
sanctuary milik Fransiscan Friars yang luar biasa indahnya. Letak dan
situasinya tak terkatakan. Kalau kamu
berdiri di ketinggian dan memandang sanctuary di bawah sana maka langsung di
sebelah kananmu adalah jurang yang dalam berdampingan dengan bukit batu yang menjulang tinggi. Sementara di sebelah kirimu adalah
gunung yang baru saja kami turuni.
Arantzazu terletak di pinggir jurang itu.
Di tempat inilah pada tahun 1522 Ignasius datang untuk mengucapkan kaul
kemurnian.
Sanctuary ini sudah berdiri pada abad 14-an dan semakin terkenal sejak
ditemukannya “Our
Lady of
Arantzazu”
pada abad 15-an. Ignasius beberapa kali
ke sini. Malam hari bulan purnama. “Aku melihatMu dalam keindahan tak terperikan
ini. Betapa sejuk hatiku merasakanMu
sedemikian dekat. Terimakasih telah
membantuku merangkul rasa sakit.”
Michael
mulai mengurus kakiku yang melepuh dengan jarum, benang, kapas, dan betadine. Saya
bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang imam bersedia mengurus yang
bukan kakinya
dengan sedemikian cermat? Dan ini akan dia lakukan sampai
hari terakhir peregrinasi mengingat
jumlah kaki yang
melepuh semakin banyak. Ia tidak hanya membasuh kaki saat Kamis
Putih namun merawat
luka telapak kaki. Indahnya. …. Pada
kesempatan tertentu nantinya kukatakan kepada Michael bahwa, “bagian
indah dari peziarahan ini adalah dirimu dan dalam keindahan ini saya melihat
Tuhan.
Keindahan
adalah salah satu karakter Tuhan. Itulah yang kuingat dalam retret bersama Sr. Margarita Byron, FCJ pada tahun lalu. Bayangan kehadiran
Tuhan antara lain dapat ditemukan dalam keindahan. Temukan keindahan dan kau
temukan pula (bayangan) Tuhan.