Minggu, 12 Februari 2012

Yesus telah menangkap saya.

Tidak lama berselang setelah saya menyatakan ketertarikan saya dengan Suster Barbara, Susteran fcJ membuat sebuah acara pertemuan bagi para perempuan yang tertarik untuk menjadi suster fcJ dan mengenal lebih dekat Kongregasi fcJ. Kelompok ini diberi nama D’Houet. Acara tersebut diadakan sebulan sekali dalam bentuk weekend. Beberapa bulan kemudian pada tahun 1998 saya ditawari oleh Suster Marion fcJ yang saat ini berkarya di Myanmar.”Yustin, apakah kamu siap untuk masuk tahun ini?” Tanya Suster Marion.
Saya tersentak mendengar pertanyaan itu. Saya meminta waktu untuk mempertimbangkannya.
Saya sadar bahwa selama saya mengikuti acara weekend ini saya juga memikirkan hidup panggilan sebagai awam. Saya sedang tertarik dengan seorang pria dan ada keinginan di dalam diri saya untuk menikah. Saya lalu menimbang, apakah benar saya ingin masuk menjadi Suster fcJ? Tidak, itulah jawaban yang ada dalam pikiranku. Saya menggambarkan saat itu kaki saya berada pada pijakan yang berbeda. Satu kaki berpijak pada panggilan hidup membiara, sedangkan satunya berpijak pada panggilan hidup awam. Selama beberapa bulan saat saya menimbang akan pilihan hidup dan saya tidak pernah lagi datang ke Susteran fcJ. Kebetulan pada saat itu Suster Marion yang menanyai saya sedang pergi untuk menjalani sabbatical. Saya lalu menimbang – nimbang pilihan tersebut sendirian.

Saat saya benar – benar meyakini panggilan hidup sebagai awam, saya lalu merasa berkewajiban untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Suster Marion. Pada bulan Mei tahun 1999, saya datang ke Susteran fcJ di Baciro untuk bertemu dengan Suster Clare fcJ. Suster Marion berpesan jika ia sedang tidak ada di tempat maka saya bisa menjawab pertanyaannya melalui Suster Clare. Saya bertemu Suster Clare hanya untuk mengutarakan kalimat pendek ini ini,” Suster, saya ingin mengatakan bahwa panggilan hidup membiara bukan panggilan saya. Saya menyakini itu dan saya merasa tenang dengan keputusan itu.”
Suster Clare menjawab dengan tenang,”Oh, ya. Baik Yustin.”
Pada tahun yang sama dua rekan saya yaitu Beta dan Sisca memutuskan untuk masuk menjadi postulant.

Sesudah saya mengatakan hal itu, saya merasa sangat bebas. Sekarang kedua kaki saya berpijak di salah satu pijakan saja yaitu hidup awam. Tidak begitu kupikirkan apakah hidup menikah ataupun selibat. Toh, hidup sendiri juga tidak apa – apa karena saya pernah memilih panggilan itu. Panggilan hidup membiara sudah tidak terpikirkan lagi.
Panggilan hidup sebagai awam mendorong saya untuk menjalin relasi dengan pria lain. Pacar terakhirku adalah seorang pria dari Timor. Ia ke Jogja untuk melanjutkan studi dan di daerah asalnya ia bekerja sebagai PNS. Hubungan kami serius karena kami telah sama – sama dewasa dan bertujuan untuk menikah. Setahun berlalu, tibalah saat kami harus memutuskan rencana ke depan akan hubungan kami. Konsekuensinya adalah jika saya menikah dengannya maka saya harus mengikutinya pulang ke Timor.

Saya harus meninggalkan Jogja, tentu saja berarti saya harus meninggalkan pekerjaan saya yang sudah mapan, orang tua dan kenyamanan yang selama ini saya rasakan. Sangat berat bagi saya saat menimbang semua ini. Pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja. Ia kembali ke daerah asalnya dan hubungan kami berakhir tahun 2001. Namun tetap ada di dalam pikiran saya untuk menikah dan tumbuh harapan bahwa saya akan menemukan pria lain yang merupakan jodoh bagi saya.
Tahun 2002, satu rekan saya sewaktu di kelompok Fiat dan D’Houet yaitu Beta akan melakukan kaulnya yang pertama. Ia meminta alumni dari kelompok Fiat untuk mengisi koor pada saat upacara kaulnya. Beberapa anggota kelompok Fiat sudah terpencar, ada yang sudah menikah, bekerja di luar kota dan hanya tersisa tujuh orang. Tujuh orang tersebut dengan komposisi tiga pria dan empat perempuan. Satu pria bertugas mengiringi dan dua lainnya mengisi suara tenor dan bass, para perempuan mengisi suara alto dan sopran masing – masing dua orang. Latihan kami berjalan dengan lancar hingga tibalah saatnya bertugas.
Misa pengucapan kaul pertama Suster Beta dipimpin oleh Romo Darminta SJ. Begitu misa akan mulai dan kami menyanyikan lagu pertama yang berjudul “Panggilanku”, hati saya merasa sesak. Saya tersentuh. Pikiran untuk masuk menjadi suster fcJ saya rasakan menerjang dengan sangat kuat. Saya tidak bisa bernyanyi. Suara saya hanya tertahan di tenggorokan dan enggan untuk keluar.
Saya menangis…..
Hanya menangis…
Saya marah…. Benar – benar marah Kepada Tuhan.

Untung saja, saya mempunyai tandem untuk suara Sopran. Sebetulnya lebih tepat jika teman saya disebut solis sopran. Saya benar – benar tidak bisa bernyanyi sepanjang misa. Saya selalu menangis saat akan bernyanyi.
Saya marah dan bertanya,” Mengapa perasaan ini datang lagi?”
“Saya sudah lama tidak berpikir mengenai ini. Saya sudah merasa yakin dan tenang terhadap pilihan panggilan hidup saya.”
“Tuhan, Kamu mau apa sih?”
Keinginan ini muncul sekali lagi dengan begitu kuat dan sangat menggelisahkan bagi saya.
Seusai misa, dalam perjalanan pulang saya masih bertanya – tanya akan perasaan yang menggelisahkan saya. Saya tidak tahan dengan perasaan ini dan terdorong untuk menceritakannya kepada seorang romo. Kebetulan romo itu mengenal Suster Beta fcJ dan Kongregasi fcJ.
Setelah saya bercerita, romo itu berkata kapada saya,”Yustin, mungkin karena kamu dekat dengan Beta sehingga muncul keinginan itu.”
“Ya, mungkin.” jawab saya dengan spontan.

Sesampainya dirumah, perasaan tersebut belum hilang dan masih menggelisahkan. Saya lalu berkata kapada diri saya sendiri terlebih kepada perasaan saya, ”Saya akan membiarkanmu selama dua minggu ini, jika kamu tidak hilang dan semakin kuat maka saya akan menggarapmu.”
Dua minggu berlalu, perasaan itu tidak hilang, bahkan semakin kuat. Tibalah waktu bagi saya untuk menggarapnya. Saya lalu merencanakan untuk cuti dan melakukan retret pribadi selama pekan suci di Girisonta di bawah bimbingan Romo Darminta. Sebelum saya menjalankan retret pribadi, saya menyempatkan diri untuk menceritakan kegelisahan saya kepada Suster Yuni fcJ. Ia menyarankan agar saya juga menceritakan kepada Suster Marion.
Awal pekan suci tahun 2006 saya berangkat ke Girisonta. Selama seminggu saya mengolah kegelisahan yang saya rasakan. Tiga hari pertama, keraguan saya terhadap hidup panggilan menjadi suster sangat kuat. Saya masih meyakini bahwa saya dipanggil untuk hidup sebagai awam. Tibalah hari keempat, saya melakukan doa panggilan dengan mengkontemplasikan bahan doa mengenai peristiwa Yesus memanggil Zakheus. Saat mengkontemplasikan bahan doa tersebut saya merasa Tuhan memanggil saya. Tanggapan saya adalah secara langsung menolak panggilan tersebut dengan berkata dalam hati saya, “Tidak.”
“ Saya tidak mau, Tuhan.”

Saya menolak dengan sangat kuat dan berulang – ulang. Saya merasa tubuh saya sangat tegang, tangan saya mengepal kuat sebagai tanda penolakan. Hingga pada akhirnya saya sendiri merasa sangat lelah.
Saat saya merasa lelah, yang saya lakukan saat itu adalah pasrah. Begitu mengejutkan bagi saya apa yang terjadi selanjutnya. Tubuh saya semakin lama semakin rileks dan nafas saya tidak lagi terengah. Saya merasa semakin tenang dan semakin hening. Di dalam ketenangan yang luar biasa, terdengar suara dari dalam lubuk hati saya. Sangat kecil, halus, namun jelas yang semakin lama semakin keluar menuju mulut saya. Suara yang pada akhirnya saya berkenan degan tegas untuk mengucapkanya,” Ya, saya mau”.

Jawaban yang sangat jelas atas kegelisahan saya. Yesus telah menangkap saya.
Setelah bertahun – tahun berkelit dari kejaran – Nya, akhirnya saya menyerah dan ditangkap.

Sungguh saat itu adalah saat saya mengalami penghiburan rohani yang sangat luar biasa. Ya, Tuhan memanggil saya untuk hidup membiara. Setelah selesai melakukan doa, saya segera menemui pembimbing dan menceritakan pengalaman tersebut.
Ketika malam tiba, di dalam doa, saya melakukan pengulangan dan masuk kembali kepada peristiwa yang tadi saya alami. Di depan salib, saya berbincang dengan Tuhan. Saya mulai menimbang – nimbang lagi konsekuensi atas pilihan panggilan hidup saya. Saya memilih menjadi suster berarti harus siap untuk meninggalkan semua kenyamanan yang telah saya miliki. Anehnya, saya merasa rela ketika harus meninggalkan semua ini. Saya mulai membandingkan perasaan saya ini dengan saat saya mempertimbangkan untuk menikah dengan pacar terakhir saya. Saat itu saya tidak rela, namun saat ini saya begitu rela dan dengan senang hati untuk melepas semua kenyamanan saya. Saya juga sempat memikirkan keadaan keluarga adik saya yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Selama bekerja saya berencara membantu dalam hal biaya sekolah anaknya.

Di dalam percakapan dengan Tuhan saya tersentak saat Ia berkata,” Yustin, Saya bisa melakukan lebih daripada yang kamu lakukan. Mereka adalah tanggung jawab Saya”
Benar juga ya, saya menjadi tersadar. Seberapapun kuatnya usaha saya di dalam membantu keluarga tidak dapat dibandingkan dengan – Nya. JawabanNya semakin membuat saya yakin akan pilihan saya. Saya benar – benar merasakan arti Paskah yang sesungguhnya saat itu.

Setelah pulang dari retret, saya lalu bertemu Suster Marion menceritakan apa yang saya dapat selama retret. Tidak memerlukan waktu yang lama bagi saya untuk memulai proses masuk ke Kongregasi fcJ. Proses awal dimulai dengan bimbingan dan pada bulan Juni tahun 2006 saya melakukan live- in.
Pada saat live-in Suster Marion bertanya kepada saya,” Yustin, seandainya kamu masuk fcJ, apakah kamu bersedia untuk diutus ke Flores?”
“O, ya. Saya bersedia.” Jawab saya
“Bagaimana kalau kamu bertemu dengan mantan pacarmu?” tanya Suster Marion kedua kalinya.
“Ya, tidak apa – apa” jawab saya dengan ringan.
Untuk terakhir kali Suster Marion bertanya,” Yustin, apakah kamu bersedia masuk tahun ini?”
Saya menjawab dengan pasti,”Saya bersedia.”

Setelah live-in saya diminta cuti panjang jika memungkinkan. Tidak disarankan bagi saya untuk langsung keluar dari pekerjaan saya. Saya bekerja di bagian personalia dan tentu saja saya banyak tahu mengenai peraturan kepegawaian. Menurut peraturan memang bisa untuk cuti selama satu tahun, hal ini disebut cuti di luar tanggungan. Selama ini memang belum pernah ada yang melakukan cuti tersebut. Lalu saya berkosultasi dengan Romo Paul Suparno SJ dan mengutarakan kepadanya rencana saya untuk cuti.
Pada akhir pertemuan kami, romo berkata,” Ya kalau belum pernah terjadi, ya dijadikan toh!”. Sayalah pegawai pertama di Sanata Dharma yang “menggenapi” peraturan tersebut.
Saya menghabiskan satu tahun sebagai seorang postulant fcJ. Saat menjalani sebagai postulant keraguan besar juga menimpa saya. Waktu itu saya merasa kering di dalam setiap kali berdoa. Doa saya hanya berisikan khayalan, pikiran masa lalu dan kekhawatiran. Doa saya tidak khusyuk, sedangkan saya melihat doa suster – suster lainnya sepertinya sangat dalam. Timbul dalam diri saya rasa minder akibat suster lainnya kebanyakan berprofesi sebagai dosen. Apakah saya mampu? Keraguan dan kekhawatiran ini seperti angin ribut yang selalu melanda pikiran saya sewaktu berdoa.
Tibalah retret weekend yang dipimpin oleh Suster Barbara. Saya masih dalam keadaan ragu dan khawatir. Saya menggunakan bahan doa mengenai Yesus yang meredakan angin ribut. Di dalam doa saya meminta agar Yesus meredakan angin ribut yang berkecamuk dalam hati saya. Saat awal doa saya merasa sangat kacau dan saya meminta agar Tuhan meredakannya. Kemudian pada saat saya meresa tenang, munculah kata Gembala Baik di dalam lubuk hati saya. Tuhan, apa artinya ini? Hal ini membuat saya mempercakapkannya dengan Tuhan,” Apakah Kamu memanggilku ke Gembala Baik?”
“Apakah pilihanku saat ini, salah?”

Kata itu kemudian hilang, digantikan dengan sebuah frasa yang berbunyi “Satu jiwa lebih berharga daripada seluruh dunia.” Waktu itu saya sadar bahwa frasa itu adalah semangat dari karya para Suster Gembala Baik. Frasa itu terdengar berulang – ulang di dalam lubuk hati saya dan kemudian hilang digantikan oleh frasa lain yang berbunyi “Keselamatan jiwa – jiwa.” Frasa ini berulang cukup lama dan mengingatkan saya akan pengalaman Marie Madeleine (Pendiri Kongregasi fcJ) di dalam sebuah buku. Di dalam buku itu dikisahkan Marie Madeleine tertarik dan menggunakan semangat spiritualitas Ignasian di dalam berkarya.

Salah satu dari semangat tersebut adalah “Bekerja untuk keselamatan jiwa – jiwa.” Kata yang muncul kemudian dan sangat menarik adalah kata “Persahabatan”. Saat itu saya mendapatkan sebuah wawasan yang terbentuk dari dua kunci yaitu “Bekerja untuk keselamatan jiwa – jiwa” dalam “Persahabatan” itulah kharisma dari fcJ. Setelah retret berakhir, angin ribut telah diredakan dan saya semakin yakin akan panggilan hidup saya.

Masa cuti telah habis dan akhirnya saya harus keluar dari pekerjaan saya di Sanata Dharma. Lalu saya menjalani masa novis selama dua tahun dan diakhiri dengan kaul pertama saya sebagai Suster fcJ. Pada saat kaul pertama, saya menyadari bahwa hidup sebagai Suster fcJ merupakan anugerah terbesar di dalam hidup saya. Saya mengikrarkannya dengan sungguh – sungguh.
“Siapakah saya ini sehingga Tuhan memanggil saya untuk menjalani panggilan hidup sebagai Suster fcJ?”.

Hal itu merupakan rahmat terbesar dalam hidup saya. Sehari setelah saya mengikrarkan kaul, Suster Barbara bertanya,” Yustin, apakah kamu bersedia diutus ke Ende, Flores?”
Saya menjawab dengan sukacita seperti apa yang saya ucapkan kepada Suster Marion,
“O, ya. Saya bersedia.”
Saya bersyukur saat ini hidup sebagai bagian dari Suster fcJ. Hal yang saya kagumi adalah semangat persahabatan diantara para susternya. Salah satu wujudnya adalah jika ada calon novis baru maka akan ia akan mendapatkan kiriman kartu, surat, fax dan doa dari seluruh suster dari enam belas negara tempat para Suster fcJ berada. Kesatuan, kedekatan dan relasi sangat erat saya rasakan tidak hanya diantara Suster fcJ yang berada di Indonesia namun juga diantara Suster fcJ di negara lainnya.