Rabu, 07 November 2012









TINGGALKAN ZONA AMAN DAN NYAMAN
SELAMAT DATANG KESULITAN DAN KELEMAHAN

Hari ini awal perjalanan kami berziarah, napak tilas perjalanan St. Ignasius Loyola menuju Navarette.  Kota pertama yang kami tuju adalah Legazpi.  Grup kami berjumlah 29 yang berasal dari Hungaria, Polandia, dan tiga pendamping dari Spanyol.  Kemarin sore kusadari kuatnya perasaan cemas, ragu-ragu,  dan takut.  Inilah yang saya takutkan:  wilayah Basque tidak bisa saya bayangkan, cuaca bisa sangat panas. Ransel juga lumayan berat.  Belum lagi jaraknya sekitar 135 km.  Semalam saya tidak bisa tidur.
Kami memulai perjalanan dengan berdoa di sanctuary Inigo – tepatnya di kapel tempat dia dulu terbaring sakit. Ignasius, saya tidak merasa cukup yakin dengan kekuatanku. Tolonglah saya untuk berserah pada kekuatan Tuhan. Rahmat yang kuminta hari ini kudoakan sepenuh hati.  Bacaan KS mengutip perjalanan Abraham meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah yang bahkan untuk membayangkan  saja ia tak mampu (Kejadian 12: 1-5). Saya diingatkan bahwa sesuatu yang baru menunggu di depan sana, entah apa pun itu.  Hujan turun lumayan deras ketika kami memulai perjalanan.
Bacaan kisah Ignasius pagi ini melukiskan kerinduan hatinya untuk pergi ke Navarette guna menyelesaikan hutangnya sebelum ia melanjutkan perjalanannya menuju masa depan yang sama sekali belum jelas.  Adalah mengharukan membayangkan bagaimana Martin, kakaknya, berusaha mencegahnya pergi dengan menuntunnya dari satu ruangan ke ruangan lain di Puri Loyola. Kubayangkan bahwa ia pun, pada saat itu, mengingat belum paham juga apa yang akan Tuhan tunjukkan, mestinya tidak serta-merta hatinya gilang-gemilang mantab meninggalkan Puri Loyola.  Namun ia tidak terbujuk.  Ia pergi juga dan baru kembali bertahun-tahun sesudahnya.
Saya juga membuat kesalahan fatal yang baru saya sadari di tengah perjalanan menuju Legazpi. Saya tidak mengenakan sepatu yang layak untuk jalan jauh.  Saya memilih mengenakan sandal gunung. Lima kilometer menjelang Legazpi kedua telapak kaki perih sebelum akhirnya kuketahui bahwa keduanya melepuh. Rasanya perih, berdenyut-denyut sakit, dan kalau untuk menapak seperti ada gelembung di telapak kaki. Kelak di akhir perjalanan, sandal dan kaki melepuh itulah sumber rahmat yang mengalir secara berlimpah-ruah.  Ketika akhirnya tiba di Legazpi hari sudah menunjuk pk. 17.00 dengan kaki lelah dan melepuh. 
Di Legazpi saya menyesali kebodohan dan merasa semakin ragu-ragu dengan perjalanan enam hari ke depan. Akan bisakah saya menyelesaikan ziarah dengan kondisi kaki seperti ini? Sanggupkah sandal ini bertahan hingga tujuh hari? Inilah yang saya bicarakan dengan Tuhan.

“Tuhan, saya telah membuat kebodohan. Saya ragu-ragu apakah sepatu ini akan bisa tahan sampai ke hari ke tujuh. Mohon rahmatMu. Saya tidak bisa mengandalkan sepatu melainkan kemurahan hatiMu semata.

            Perbedaan perjalanan kali ini dengan perjalanan-perjalananku sebelumnya adalah dalam hal mengandalkan kekuatan Tuhan. Baru kusadari bahwa selama ini ketika melakukan perjalanan, tanpa sadar, andalan saya adalah antara lain pengenalan landscape dan perlengkapan yang lumayan komplet. Kali ini?  Baru sehari perjalanan saja ke dua tapak kaki sudah melepuh, bagaimana dengan besok?  Saya cemas sekali namun berusaha pasrah. 


Rombongan mulai bergerak meninggalkan Legazpi pk. 10.00 menuju Arantzazu dengan melintasi gunung Arriurdin (1.272 mdpl). Memang tidak  setinggi gunung-gunung di Jawa namun rasanya berat sekali. Mulai hari ini dan seterusnya saya selalu berjalan paling belakang.  Kami menempuh hutan yang lebat dan amat sunyi. Jalan mendaki sangat curam.  “Tidak perlu cepat,” kataku dalam hati, “yang penting konstan.  Seiring irama napas dan langkahku, kusebut nama Yesus. Ketika kaki kanan melangkah kusebut “YE” dan pada langkah kaki kiri kusebut “SUS”.  Setiap langkah adalah doa YESUS.
Kulihat seorang peserta laki-laki yang konon seorang pebola basket, mulai pucat dan berkeringat. Ia kesulitan bernapas. Jadi jalur ini memang berat, tidak saja karena kecuramannya namun juga karena udaranya yang kering. Ada Xavi dan Michal Kocon yang menemaninya bahkan akhirnya membawakan ranselnya. Kerelaan mereka mengambil beban orang lain di jalur yang tidak mudah ini, menyentuh hatiku.
Istirahat siang di titik yang indah sekali. Bukit-bukit di kejauhan berwarna kebiruan. Saya tak mampu bicara saking terkesima.  Selanjutnya adalah kembali perjalanan dalam doa, ketekunan, kesabaran, kesetiaan melangkah, dan kepasrahan yang kusadari.   Karakter gunung adalah semakin curam tanjakannya ketika  mendekati puncak. Gunung Arriuddin pun tak beda halnya dengan gunung-gunung lainnya.  Ia  juga berkerikil dan berbatu. Ini amat menyakitkan telapak kaki.  Saya membayangkan berjalan bersama Ignasius yang selain pincang juga tidak mengenakan sepatu.  Ia pejalan kaki yang luar biasa. Saya kembali bersemangat.
Pukul 15.45 kami tiba di pelataran gunung yang bernama Biozkorne (1.200 mdpl) lalu meluncur turun menuju pertapaan.    Perjalanan menurun terasa lebih sulit. Sudah kurasakan lutut kanan mulai nyeri begitu perjalanan menurun semakin curam. Selanjutnya Michal Kocon yang mengangkat carrier tersebut sampai ke Arantzazu. Perlu kerendahan hati untuk merelakan dirimu dibantu.
Kami tiba di Arantzazu pk. 17.00.  Arantzazu adalah sebuah sanctuary milik Fransiscan Friars yang luar biasa indahnya. Letak dan situasinya tak terkatakan.  Kalau kamu berdiri di ketinggian dan memandang sanctuary di bawah sana maka langsung di sebelah kananmu adalah jurang yang dalam berdampingan dengan  bukit batu yang menjulang tinggi.   Sementara di sebelah kirimu adalah gunung  yang baru saja kami turuni. Arantzazu terletak di pinggir jurang itu.  Di tempat inilah pada tahun 1522 Ignasius datang untuk mengucapkan kaul kemurnian. Sanctuary ini sudah berdiri pada abad 14-an dan semakin terkenal sejak ditemukannya Our Lady of Arantzazu pada abad 15-an.  Ignasius beberapa kali ke sini. Malam hari bulan purnama.  Aku melihatMu dalam keindahan tak terperikan ini.  Betapa sejuk hatiku merasakanMu sedemikian dekat.  Terimakasih telah membantuku merangkul rasa sakit.
Michael mulai mengurus kakiku yang melepuh dengan jarum, benang, kapas, dan betadine. Saya bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang imam bersedia mengurus yang bukan kakinya dengan sedemikian cermat? Dan ini akan dia lakukan sampai hari terakhir peregrinasi mengingat jumlah kaki yang melepuh semakin banyak. Ia tidak hanya membasuh kaki saat Kamis Putih namun merawat luka telapak kaki. Indahnya. …. Pada kesempatan tertentu nantinya kukatakan kepada Michael bahwa, “bagian indah dari peziarahan ini adalah dirimu dan dalam keindahan ini saya melihat Tuhan.
Keindahan adalah salah satu karakter Tuhan. Itulah yang kuingat  dalam retret bersama Sr. Margarita Byron, FCJ pada tahun lalu. Bayangan kehadiran Tuhan antara lain dapat ditemukan dalam keindahan. Temukan keindahan dan kau temukan pula (bayangan) Tuhan.
           


Selasa, 02 Oktober 2012



Tak  ada sesuatu pun  yang dapat memisahkanku dari kasih Kristus
(Nothing Can Separate Me From the Love of God)




Lynne FCJ, MaryAnne FCJ, dan Anouska FCJ (tiga suster FCJ dari United Kingdom - Inggris) mengajakku berkunjung ke kapel kecil di atas bukit, 20 menit berjalan kaki dari Loyola. Ke tempat ini konon menurut cerita, Inigo sering datang untuk berdoa.  Pk. 14.00 kami mulai berjalan menyusuri jalur indah menaiki bukit. Cuaca cerah, langit biru, bumi hijau. Sungguh, tempat yang indah. Sempurna.  Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu dan bermazmur bagi-Mu (Mzm. 66: 4).
Kapel yang kami tuju merupakan bangunan sederhana.  Sangkaku itu adalah rumah penduduk namun nyatanya itulah kapel tujuan kami. Bangunannya terbuat dari batu, berpintu satu, dan berlantai kayu dengan kapasitas tak lebih untuk lima puluh orang. Nampak tua dan sunyi. Tidak ada Corpus Christo melainkan patung kecil Bunda Maria memeluk Bayi Yesus. Dibandingkan dengan Basilika Loyola, bangunan ini hampir-hampir tak ada artinya. Begitu masuk, atmosfer hening dan roh yang lembut seketika menyambutku. Lampu tidak dinyalakan sehingga suasana remang-remang. Dalam hening 30 menit kami duduk di hadapan Tuhan. UndanganNya bagiku hanyalah duduk, hadir di hadapanNya, hening. Hatiku dipenuhi oleh kebahagiaan dan kedamaian. Dari jauh terdengar sayup-sayup lonceng gereja dengan nada “Ave maria”. Lembut merasuki hatiku.  Tak heran jika St. Ignasius mencintai tempat ini. 
Sebelum kami keluar, Lynne mengusulkan kalau para FCJ bisa bersama bersujud di depan altar dan menyanyikan lagu Magnificat. Begitu kami berempat sujud di hadapan Maria, air mataku mulai berlinang-linang. Kekuatanku kurasakan meleleh di hadapan Maria. Dalam rasa tidak pantas dan penuh kelemahan diri kami menghadap Maria, mengharap bantuannya agar semakin mampu mengasihi Puteranya. Dan ia berdiri di sana, tersenyum. Persahabatan FCJ kurasakan begitu kuat di antara kami dan untuk beberapa saat aku tidak bisa menyanyi sebab perasaanku tercekat oleh air mata. Sebelum pulang, kupeluk MaryAnne dan kukatakan, “Aku sangat bahagia menjadi Sahabat Setia Yesus. Tidak ada satupun yang dapat memisahkanku dari kasih Tuhan, tidak penderitaan maupun duka cita, tidak kesulitan, penganiayaan, pun kematian. Ia menjawab,Aku pun demikian.  

Untuk menyandang nama ini, Sahabat Setia  Yesus, aku akan memberikan segala yang kupunya – seluruh diriku (Marie Madeleine – pendiri FCJ).


Kamis, 27 September 2012



CON CHRISTO EN EL CORAZON DEL MUNDO
WITH CHRIST AT THE HEART OF THE WORLD

Tulisan ini adalah catatan perjalanan 5-22 Agustus 2011 selama berada di Loyola-Madrid, Spanyol. Terdiri dari tiga bagian besar, yaitu hari-hari awal (meliputi misa pembukaan Magis dan misa perutusan), hari-hari Peregrinasi (Berziarah) dari Loyola ke Navarette, dan hari puncak misa World Youth Day yang dipimpin Paus di Madrid.

Bagian I. 

5 Agustus 2011, 14.30 waktu setempat.  “Loiola, saya datang, bisikku, ketika bis membelok ke suatu pelataran. Tampak sebuah basilika megah sebelum akhirnya bis berhenti. Tahulah saya bahwa kami sudah tiba di Loyola. Hatiku bergetar dan jantungku berdegup lebih kencang. Inilah tempat Spiritualitas Ignasian bermula, tempat  Inigo dilahirkan secara fisik maupun batin. Takjub hatiku ketika menginjakkan kaki ke tanah Loyola. Jiwaku disergap oleh rasa tak percaya. Siapakah aku Tuhan sehingga Engkau mengijinkanku berada di tempat ini? Inilah salah satu alasan mengapa pergi ke Spanyol menggembirakan hati. Sungguh pentinglah sosok Inigo bagiku karena dari orang ini saya belajar menemukan arti diriku diciptakan.

Pada hari berikutnya pk. 10.00 misa pembukaan Magis. Bersama tiga ribu peziarah lainnya saya duduk di halaman hijau Puri Loyola. Disela keriuhan situasi, hatiku tenang dan hangat bermandikan cahaya matahari. Kulayangkan pandanganku ke bukit-bukit menghijau yang mengelilingi Loyola, bukit-bukit yang mestinya pernah juga dipandangi oleh Inigo. Kuhirup udara tempat ia pernah hidup. Semuanya itu masih dibingkai oleh langit biru jernih. Inilah tempat ketika terbuka hati dan budi Inigo untuk Kau sentuh dan Kau bentuk menjadi seperti yang Kau mau.” Saya diingatkan untuk hidup secara MAGIS, terbuka terhadap diri sendiri, sesame dan Tuhan. Apa artinya ini untukku? 


Bantulah aku ya  Tuhan, untuk menemukan kehandakMu atas diriku[1]

Esok harinya pada misa perutusan yang dipimpin oleh Romo Jendral Serikat Yesus di halaman basilika lebih dari seratus jesuit berarak dengan anggun dan penuh senyum. Kusadari diriku duduk di antara 3000-an orang dari berbagai negeri dan saya, entah bagaimana, menemukan peneguhan sebagai Sahabat Setia Yesus (Faithful Companion of Jesus/FCJ). Alasan awal paling sederhana menjadi biarawati adalah karena saya tidak mau terperangkap dalam lingkup sempit satu keluarga, yang untuk itu mesti mengambil sumpah tinggal di satu tempat seumur hidup bersama pasangan.  

 Saya menginginkan ruang  yang luas, bisa terbang menembus batas-batas budaya sendiri dan menjadi “milik” dunia. Sekarang kurasakan syukur mendalam karena pilihan tersebut. Saya berada di antara orang dengan berbagai ragam bahasa dan bangsa, serta merasa menyatu dengan mereka dalam satu ikatan: Spiritualitas Ignasian.  

Bacaan KS pada misa perutusan diambil dari 1 Raja-Raja 19: 9-13 mengenai Elia yang bersembunyi di gua karena ketakutanm dikejar-kejar oleh orang Israel, dan Mateus 14: 22-33 mengenai Yesus yang berjalan di atas air. Keterbukaan – sensitif – fokus adalah inti  pesan yang disampaikan Romo Jendral dalam homilinya, yang kebenarannya akan terlihat  pada hari-hari selanjutnya:
                                                                          
keterbukaan – sensitif – fokus.

I felt that God wanted to communicate to me in different ways. For instance, whilst getting the altar reeady I repeated with great feeling and in aloud voice, “Where do You want to take me, Lord? (...) On saying these words I wondered to myself where He might lead me. (...) “Lord, where am I going, or where are You taking me? Following you I cannot get lost.” (The Spiritual Diary  of St. Ignatius Loyola 113-114)
 
Ketakutan yang diikuti dengan tindakan bersembunyi dalam kegelapan tidak memungkinkan kita   mampu melihat Tuhan. “Keluarlah dari gua Elia, sebab Aku lewat”. Dan setelah keluar dari gua pun, Elijah masih harus belajar bahwa Tuhan tidak hadir dalam halilintar ataupun dalam gempa yang menggelegar melainkan dalam bunyi angin sepoi-sepoi basa. Dan jika fokus kita adalah diri sendiri, kita akan tenggelam.  Namun jika fokus kita    adalah Yesus maka segala sesuatu dapat dijalani dan kita akan selamat. 
Jadi undangannya sangat jelas, keluar dari tempat persembunyian dan fokus memandang Tuhan. (bersambung)


[1] The Pilgrim’s Handbook, p. 168.