Kamis, 03 November 2011

Ya, Saya mau.

Bagian 1

Pada mulanya adalah cita – cita. “Biarawati” kata inilah yang selalu saya tuliskan paling akhir setiap kali mengisi biodata di dalam buku kenang – kenangan di saat saya duduk kelas tiga SD!! Entah mengapa hal itu saya lakukan, meskipun saya pada saat itu tidak mempunyai gambaran mengenai seorang biarawati. Saya hanya tertarik, itu saja alasannya.

Saya tidak berasal dari keluarga Katolik. Bapak dan ibu saya beragama Islam. Saya anak keempat dari enam bersaudara. Saya mengenal agama Katolik sedari Taman Kanak – Kanak dan dibabtis saat saya menginjak kelas tiga SD. Saya bersekolah di SD Kanisius Wirobrajan satu – satunya sekolah terdekat di sekitar tempat saya tinggal, Kuncen. Seiring berjalannya waktu, cita – cita itu mulai meredup. Seakan tertidur dan menunggu untuk dibangunkan.

Tibalah waktunya... di kala cita – cita saya dibangunkan dari tidurnya. Saat itu saya adalah siswi SMEA di Kumetiran. Pada saat kelas dua, guru agama saya adalah seorang suster, bernama Sr. Rosalia. Pesona suster itu begitu menarik bagi saya. Lembut, itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan pribadinya. Hal ini membuat saya tersadar akan cita – cita yang pernah saya tulis pada saat kecil. Tidak hanya berhenti sebagai cita – cita, keterpesonaan mendorong saya untuk membuat sebuah rencana yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Ketertarikan saya kepada kepribadian Sr. Rosalia menumbuhkan keinginan untuk masuk menjadi biarawati dalam konggregasi Sr. Rosa. Rencana saya adalah setelah saya menyelesaikan studi di SMEA, saya akan masuk Kongregasi tersebut. Kemudian rencana tersebut saya ceritakan kepada bapak saya. Namun apa yang terjadi? Bapak tidak berkenan akan rencana saya. Menurut bapak, menjadi seorang suster berarti selibat, tidak menikah, dan tidak mempunya anak. Hal ini berarti garis keturunan berhenti hanya sampai saya saja. Munthes sejarah, begitulah Bapak saya mengistilahkan. Bapak saya memang tidak setuju dengan hidup selibat, namun tidak pernah melarang putra – putrinya dalam hal memilih.

Tenang, itulah respon saya pada saat itu. Hal itu malah mendorong saya untuk lebih menyempurnakan rencana saya dan tentu saja hal ini saya rahasiakan dari bapak. Rencana rahasia saya adalah setelah saya menyelesaikan studi di SMEA, saya akan bekerja selama dua tahun dan setelah dua tahun bekerja saya akan masuk menjadi suster biarawati. Tampak lebih sempurna, bukan?

Pada saat menjelang kelulusan, di tengah hingar – bingar antusias teman – teman saya untuk mendaftar UMPTN, saya malah mencari pekerjaan. Seolah – olah rencana itu sudah matang bagi saya dan saya yakin akan berhasil. Alasan saya bekerja adalah supaya dapat membantu orang tua secara ekonomi walaupun hanya sebentar. Sembari bekerja selama dua tahun, saya berencana sedikit demi sedikit membujuk orang tua supaya setuju akan keinginan saya menjadi seorang suster.
Sempurna, bukan?

Tidak lama setelah lulus, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor bangunan. Namun malang, perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan sehingga saya harus dipaksa berhenti setelah bekerja selama enam bulan. Setelah menganggur beberapa bulan, saya mendapat tawaran pekerjaan di susteran kontemplatif di Cipanas Jawa Barat agar saya tahu kehidupan suster yang kontemplatif. Tawaran itu saya terima dengan senang hati. Selama bekerja di sana, saya mulai mengenal kehidupan kehidupan suster yang kontemplatif. Pada akhirnya saya sadar bahwa saya tidak tertarik dengan cara hidup yang kontemplatif.

Saat itu tetaplah menyala keinginan menjadi suster yang sama dengan Sr. Rosalia. Setelah setahun bekerja di Cipanas, saya memutuskan pindah ke Jakarta dengan maksud agar lebih dekat dengan rumah Pronfinsi konggregasinya. Sambil bekerja, setiap weekend saya rutin menginap di Susteran itu, supaya bisa mengenal lebih dekat tentang konggregasi itu. Beberapa bulan kemudian, saya diterima menjadi aspiran. Waktu itu sungguh saya merasa sangat bahagia. Api dalam diri saya saat itu tidak hanya membara, namun berkobar – kobar. Sesuai dengan rencana saya yang matang dan rahasia. Dan kini ...berhasil....sempurna.
Hari – hari saya jalani dengan penuh kegembiraan bersama lima orang aspiran lainnya. Saya merasa telah mendapatkan apa yang saya inginkan. Waktu itu saya sungguh yakin bahwa ini merupakan kehendak Tuhan. Sebab, sesuai dengan rencanaku. Kebahagian yang luar biasa sungguh saya rasakan, meskipun saat itu baru menjadi seorang aspiran. Lalu apa yang terjadi?

Saya merasa Tuhan main – main terhadap rencana saya. Tepat dua minggu saya menjalani masa aspiran. Saat saya merasa penuh dengan semangat. Waktu itu Sabtu sore, saya melakukan bimbingan seperti hari – hari biasanya. Tiba – tiba pembimbing aspiran berkata kepada saya,”Yustin, saya merasa bahwa kamu perlu mengolah hidup di luar dulu. Jadi lebih baik kamu pulang!”
DAR!!! Seperti petir di sore bolong. Hatiku hancur lebur. Gelap sudah dunia.

”CUT!!!” kata Sang sutradara untuk menghentikan suatu adegan saat pengambilan gambar. Begitu pulalah yang dilakukan Tuhan terhadap rencana saya. Tidak ada harapan. Itulah yang saya rasakan. Seusai bimbingan saya langsung ke kapel. Menangis, lalu saya bertanya kepada Tuhan,” Tuhan, mau-Mu itu apa toh? Kamu tahu bahwa saya antusias dan yakin akan panggilan saya, melalui tanda – tanda yang Kamu berikan, bahkan semua ini sesuai dengan rencanaku. Lalu sore ini, Kamu seperti munthes semuanya. Apa sih mau-Mu?” Habis air mata ini. Rasanya seperti dijungkirkan ke jurang sesudah diangkat ke langit. Jatuh.
Akhirnya, sore itu saya pulang. Ada satu kutipan dari Yesaya (41:13) yang menyertai kepulangan saya ke Jogja. Ayat yang mengatakan bahwa “Sebab aku ini, Tuhan, memegang tangan kananmu”. Itulah yang menjadi kekuatan bagi saya saat itu. Sesampainya di Jogja saya mengatakan kepada orang tua bahwa saya sudah tidak lagi bekerja di Jakarta. Namanya juga rencana rahasia, orang tua hanya tahu kalau saya sekedar pindah tempat kerja.

Tidak lama setelah itu saya diterima kerja pada bagian administrasi di Toko Siswa Muda. Tiga tahun saya lewati dengan cepat yaitu tahun 1991 – 1994. Pada tahun 1994 saya pindah pekerjaan, saya bekerja di Sanata Dharma pada bagian personalia.
Suatu saat saya bertemu dengan Sr Barbara fcJ. Ia seorang dosen di Sanata Dharma. Ia adalah orang asing dan selalu harus mengurus ijin kerja secara berkala. Pada saat itu, mengurus ijin kerja adalah tugas bagian personalia. Disinilah perkenalan awalku dengan FCJ.

Sewaktu mengurus ijin kerja, Sr. Barbara seringkali ditemani oleh Sr. Agnes Samosir fcJ. Sejak itu saya seringkali ngobrol dengan Sr. Agnes. Mulai timbul rasa ketertarikan dalam diri saya dengan Kongregasi ini. Awalnya saya hanya tertarik karena teryata ada suster yang tidak memakai ”habit”. Pada suatu saat Sr. Agnes menawarkan kepadaku rekoleksi perempuan muda. Saya menerima tawaran itu dan mendatangi acara rekoleksi tersebut.

Saya mulai datang ke rekoleksi tersebut bulan November 1994. Tidak hanya sekali saya datang, namun beberapa kali. Setelah rutin mengikuti rekoleksi saya sadar bahwa keinginan untuk menjadi suster muncul lagi. Bahkan lebih spesifik yaitu menjadi Suster Kongregasi FCJ. Akan tetapi saya tidak begitu yakin dengan keinginan itu karena pada saat bersamaan saya juga berpikir mengenai panggilan hidup sebagai awam.

Pada tahun 1996 saya menyampaikan kebimbangan akan hidup panggilan kepada Sr. Agnes. Kebetulan pada saat itu ternyata ada beberapa orang muda yang bercerita kepadanya mengenai hal yang sama. Kemudian , Sr. Agnes mengumpulkannya pemuda – pemudi yang penuh kebimbangan dalam panggilan menjadi satu kelompok sharing dan diberi nama kelompok “Fiat” yang terdiri dari empat pria dan enam perempuan. Di antara anggota Fiat terdapat dua rekan yang saat ini menjadi Suster FCJ yaitu Beta dan Sisca.

Pertemuan kelompok Fiat diadakan sebulan sekali. Isi di dalam pertemuan diantaranya mengenalkan akan hidup keluarga, single dan membiara. Suatu waktu, kami sekelompok juga mengunjungi biara –biara. Saya sangat menikmati hidup bersama kelompok ini. Kelompok ini sangat solid, dewasa, dan saling terbuka di dalam sharing mengenai perjuangan menemukan panggilan hidup. Setelah berjalan satu tahun, kelompok ini ditutup dengan sebuah retret. Retret diadakan selama empat malam di dalam pekan suci tahun 1997, bertempat di Wisma PTPN dan dibimbing oleh Romo Heslar SJ.
Saat retret berakhir saya menemukan panggilan hidup saya sebagai awam selibat. Saya meyakini dan merasa tenang dengan pilihan itu dengan pertimbangan supaya saya masih dapat bekerja dan membantu orang tua secara ekonomi. Di samping itu saya juga merasa bebas merdeka sebagai selibat awam karena tidak perlu mengikuti aturan dan terikat dengan Kongregasi tertentu. Saya juga sempat berpikir untuk bergabung dengan ordo ketiga seperti Penabur Ragi Kristus. Saya menyadari bahwa saya adalah seorang extrovert, saya membutuhkan dukungan orang lain dalam suatu kelompok yang solid.

Saya dengan yakin menyampaikan pilihan hidup saya sebagai selibat awan kepada Sr. Agnes. Ia lalu mengusik saya dengan pertanyaan berikut,” Yustin, pilihan hidup mana yang membuat kamu lebih berkembang? Menurutmu apakah pilihan hidup sebagai selibat awam itu akan membuatmu berkembang?”

Ia mengingatkan saya akan sebuah mimpi yang pernah saya ceritakan. Di dalam mimpi itu saya berkunjung ke Susteran FCJ di Soropadan. Di sana saya bersama dengan Suster Barbara, Agnes dan Afra asyik memanen kacang. Hatiku gembira karena kacang yang dipanen hasilnya sangat banyak dan bagus. Lalu Sr. Agnes bertanya kepada saya,” Apakah kamu mengingat mimpimu memanen kacang disini?” Pertanyaan itu sangat mengganggu saya, padahal saat itu saya sudah yakin atas pilihan hidup saya. Hal ini mendorong saya untuk mempertimbangkan lagi pilihan panggilan hidup.

Saya lalu teringat saat menceritakan kepada Sr. Barbara mengenai salah satu pengalaman saya. Pengalaman itu berkisah tentang saat saya dikejar – kejar seorang pria yang tidak saya sukai. Suatu kali pria itu datang ke rumah saya dan berencana mengajak saya pergi. Tentu saja saya menolak, namun saya bingung untuk mencari alasan apa yang cocok. Spontan terlintas di otak saya alasan bahwa saya ada acara pertemuan di Susteran FCJ , Soropadan. Pria tersebut tenyata enggan untuk segera pergi. Lalu senjata pemungkas saya adalah segera bergegas bersiap – siap agar kelihatan seperti orang mau pergi dan mengatakan bahwa saya akan segera berangkat. Akhirnya pria itu menyerah, namun ia meminta tolong untuk menumpang sepeda motor saya sampai Kotabaru. Setelah mengantar pria tersebut di Kotabaru, saya merasa wajib ke Soropadan untuk memenuhi ucapan saya.

Saat saya sampai di Soropadan, semua suster sudah bersiap hendak pergi kecuali Sr. Barbara. Lalu saya menceritakan kisah mengenai alasan saya datang ke Soropadan. Setelah cerita berakhir, Sr. barbara berkata,” Yustin,apakah kamu melihat ini adalah sebuah tanda? Mengapa kamu mencari alasan dan yang ada di pikiranmu adalah datang ke sini?” Kesadaran saya seperti tergugah setelah mendengar pertanyaan Sr. Barbara. Saya lalu menyatakan bahwa saya sebenarnya memang tertarik untuk menjadi Suster FCJ tetapi selama ini saya hanya menyimpannya. Saat itu adalah bulan Desember tahun 1997. (bersambung)