Senin, 09 Mei 2011

Terlambat Aku Mengenal-Mu

 
“Aku tidak mau mengingat Dia …. maka dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala terkurung dalam tulang-tulangku,
aku berlelah-lelah untuk menahannya tetapi aku tidak sanggup”. (Yer 20: 9).

Keluh kesah Yeremia tersebut sangat mewakili pergulatan hati saya dalam mendengarkan, memahami dan akhirnya mentaati kehendak Allah.  Untuk sampai pada kesanggupan mengatakan “YA” atas panggilan Tuhan menjadi sahabat setia-Nya, perjalanan rohani saya berliku-liku.  Jalannya naik-turun, terang dan gelap, namun bila kini saya menegok ke belakang, keindahannya tak terperikan.  Sempurna.

**************
Bagian 1.

Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Katolik karena Bapak ibu saya penganut Kejawen (agama tradisional Jawa). Sungguhpun saya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur  namun pendidikan agama tidak merupakan prioritas.  Keluarga besar ayah saya kebanyakan beragama Kristen Protestan sedang dari sisi ibu mereka adalah muslim yang taat.  Di salah satu desa tempat saya dibesarkan (itu karena kami sering pindah tempat tinggal), Islam adalah satu-satunya agama yang saya kenal.  Setidak-tidaknya itulah yang saya pelajari di Sekolah Dasar.

Pada saat kelas lima SD, mulailah saya sholat dan berpuasa sebagaimana layaknya anak-anak yang lain tanpa ada yang menyuruh dan menuntun. Saya belajar dari buku tuntunan shalat yang saya pinjam dari seorang teman dan saya masih ingat damainya hati ketika mengambil air wudhlu sebelum sholat.  Saya kira itulah benih kerinduan awal untuk berrelasi dengan Tuhan Pencipta.

Lulus SD, saya melanjutkan sekolah  ke kota (Solo).  Kakak saya (yang sudah menjadi Katolik) mendaftarkan saya sebagai siswi beragama Katolik.  Jadilah saya masuk kelompok siswa Katolik tanpa ide apapun mengenai Agama Katolik.  Itu mencemaskan.  Saya ingat betapa takutnya saya sewaktu pada awal mengikuti pelajaran Agama Katolik, terutama pada saat doa. Doanya sendiri tidak menakutkan,  yang menakutkan adalah ‘mandapatkan giliran’ untuk memimpin doa. Ketika yang lainnya membuat tanda salib, yang spontan muncul dalam hati saya adalah Bismillah.

Seiring berjalannya waktu Tuhan semakin serius dalam membangun  iman saya. Tidak ada yang menyuruh atau  mendorong, sama seperti saat saya mulai mempelajari Agama Islam, saya memutuskan untuk ikut katekumen di paroki Purbayan Solo.  Itu adalah paroki terdekat dari tempat kos saya.  Pengajarnya seorang Suster Fransiskanes (OSF).  Itulah perjumpaan awal dan dekat dengan sosok biarawati.  Selama satu tahun mengikuti katekumen, akhirnya saya dibabtis saat kelas tiga SMP. Itulah hari ketika saya secara definitif menjadi seorang Katolik.

Dari segi iman, saya cukup setia dengan doa novena, rosario dan sesekali membaca Kitab Suci. Tetapi pengalaman akan Allah itu seperti apa, saya tidak mengerti. Pelajaran agama di sekolah saya ikuti dengan tekun.  Saya “mengetahui” siapa Tuhan namun tidak merasa mengalami Allah yang hidup sebagaimana diajarkan dalam pelajaran. Menjadi suster?  Itu jauh dari angan-angan.  Saya ingin bekerja di luar Jawa, memiliki banyak uang dan mengunjungi tempat-tempat baru dan asing.  Saya suka perjalanan.  Kelak terbukti bahwa dengan menjadi suster, saya menembus batas-batas wilayah dan mengenal budaya berbagai negeri.

”Tuhan , mengapa Kau ciptakan aku? Kalau hidup memiliki tujuan, apakah itu? Kalau hidup ini Kau kehendaki dan ada tujuannya, bagaimana saya bisa mengetahuinya?  Bagaimana saya harus mengisi hidup agar bermakna?”.Selepas  SMA saya melajutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada saat di perguruan tinggi inilah sejarah panggilan saya dimulai. Ada dua peristiwa penting yang menjadi titik tolaknya.

Pertama, terjadi ditahun terakhir saya kuliah, semester tujuh tepatnya. Saya merasa studi saya akan segera berakhir, status sebagai mahasiswa menjelang kadaluwarsa, what next? Memikirkan hal itu membuat hati saya berdesir – desir. Saya  cemas.   Kemudian pertanyaan tersebut menjadi sangat signifikan pada peristiwa berikutnya.  Sore itu saya keluar ke teras di samping kost saya. Sambil memandang langit Bogor yang cerah dan alam sekitar yang hijau, saya bertanya dalam hati, ”Tuhan , mengapa Kau ciptakan aku? Kalau hidup memiliki tujuan, apakah itu? Kalau hidup ini Kau kehendaki dan ada tujuannya, bagaimana saya harus mengisi hidup agar bermakna?”.   Lama kemudian  saya menyadari bahwa setiap orang, pada saat tertentu, akan sampai pada pertanyaan semacam itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasar karena berkenaan dengan makna hidup. Saya tidak mempunyai ide bagaimana menemukan jawabnya.  Kiranya waktu itu saya belum mengenal Allah meski saya mengaku beriman.  Ini adalah tahap Samuel muda yang meski tinggal dalam bait Tuhan namun belum mengenal Allah.

Kedua,  ketika saya mengikuti misa minggu panggilan di Katedral Bogor. Misa itu dipimpin oleh seorang imam dari ordo Fransiskan (OFM). Diakhir homilinya, beliau mengajukan pertanyaan ini ”Tuhan memanggil, siapakah yang akan menanggapi kalau bukan kita?”  Sepulang dari misa, sambil berjalan mengitari Kebun Raya Bogor, saya menyadari pertanyaan tadi tetap menggema di hati dan pikiran saya. Pertanyaan tersebut  akhirnya bukan lagi untuk orang lain, melainkan untuk diri saya sendiri. Pertanyaannya berubah menjadi ”Tuhan memanggil, siapakah yang akan menanggapi kalau bukan saya?”  Heroik, itulah yang saya rasakan. Ada dorongan  untuk menjawab, berkorban dan hidup secara berbeda demi Tuhan. Saya mulai berangan-angan, apa jadinya kalau saya menanggapi ini?

Dua peristiwa itulah yang memunculkan gagasan menjadi suster.  Sejak itu saya rajin ikut misa pagi di kapel milik Suster Gembala Baik. Kebetulan kapel tersebut dekat dengan tempat kost saya. Saya menemukan kegembiraan dengan  mendengarkan para suster berdoa bersama sebelum misa dimulai. Ketika pagi masih buta dan kebanyakan makhluk masih terlelap, para suster bangun dan menyucikan dunia.  Saya merasakan damai dan tenang saat mendengarkan mereka berdoa.  Belakangan, saya tahu bahwa itu adalah doa ofisi// brevir.  Saya mulai memikirkan seandainya saya menjadi salah satu dari mereka.  Ah, betapa pikiran tersebut mulai lebih sering datang.  Kalau dipikir, inilah barangkali -secara serius- Tuhan mulai mengacaukan pikiran dan hati saya.