Senin, 03 Oktober 2011

Dirikan rumahmu atas dasar batu


BAGIAN 3

Ketika terjadi gempa di Bantul dan sekitarnya tahun 2006, salah satu yang dilakukan FCJ adalah membantu masyarakat mendirikan kembali rumahnya.  Caranya adalah dengan memilih bahan-bahan dari rumah lama yang masih bisa dimanfaatkan, membuang yang tidak lagi bisa digunakan, dan menambah bahan baru yang diperlukan.  Fondasi dan tiang-tiangnya dibangun dengan cara baru dengan harapan akan tahan gempa.  Itu jualah yang dilakukan Tuhan padaku : membantu saya membangun bangunan baru dengan bahan lama yang telah menjadi puing namun masih bisa digunakan, dan dengan fondasi yang lebih kokoh.  Setidaknya saya siap dengan bangunan baru yang pondasinya lebih kokoh. Jika ada angin kencang mungkin  bangunan tersebut akan goyang  tetapi setidaknya tidak runtuh atau tercerabut. 

Setelah dua tahun proses ”membangun kembali”, saya menemukan bangunan hidup saya lebih indah dari pada yang sudah-sudah.  Dan proses itu tidak mudah.  Kalau sekarang saya melihat ke belakang, saya bisa mengatakan betapa indah proses tersebut.  ”Allah ada dalam segala sesuatu, juga pada masa hancur dan gelap” memang banar.  Namun pada saat masih berada dalam gelap dan tak tahu arah, saya menjalaninya dengan marah dan kadang putus asa.  Kata kuncinya adalah senantiasa berjalan dan tidak membiarkan diri berhenti karena putus asa.   Itu  menjadi awal hidup baru saya. Saya menjalin lagi hubungan dengan Tuhan dan pada saat yang sama dipulihkan oleh-Nya.  Iman saya menjadi lebih sederhana, dan yang pasti antara saya dan Tuhan lebih bisa  saling jujur.

Pada akhir kuliah, saat menulis tugas akhir, saya mulai mengarahkan pandangan ke beberapa tempat untuk menimbang pekerjaan.  Ada mimpi yang mulai saya renda. Juga sudah jelas bahwa saya akan hidup melajang.  Pada hari ketika saya mulai merancang hidup saya, Tuhan meyesakkan jiwa saya dengan perkara hidup panggilan. Bukan berkenaan dengan keputusan menjadi lajang atau tidak, namun  lebih mendasar lagi, yaitu Tuhan mempertanyakan cara saya mengambil keputusan :  sepihak, tanpa mengikutsertakan Dia. 

Rasa itu sungguh menyesakkan, hingga suatu kali saya menemui rama pembimbing rohani, seorang Yesuit. Beliau mengatakan begini ”Kegelisahanmu itu barangkali  karena kamu berdiri di tempat yang salah”.  Olehnya saya diberi kartu nama Kongregasi Suster FCJ. Tentu saja saya tidak dengan segera menanggapinya.  Saya merasakan ketakutan  dan kecemasan untuk masuk ke dunia yang sama kedua kalinya. Penundaan berlangsung  berlarut – larut hingga pada akhirnya saya mengalami mimpi yang kurang lebih sama sebanyak tiga kali.

Di dalam mimpi itu serasa saya masuk satu kota asing dengan ditemani oleh seseorang yang tidak saya kenal namun akrab di hati.  Kota itu kecil, tidak terlalu ramai. Saya berjalan menyusuri kota itu dan berhenti pada sebuah rumah bermodel Joglo dengan kebun yang asri.  Pintunya tertutup. Suasananya tenang dan membawa kehangatan dalam hati.  Lalu terjadilah percakapan antara saya dengan seseorang yang menemani saya:  

‘Mbok kamu kenalan dengan si empunya rumah itu?’
’Tidak, saya tidak mau.’
’Mengapa?  Alasannya apa kok tidak mau? Toh, kamu tidak dipaksa untuk tinggal, dan kalaupun kamu diminta tinggal namun  kamu tidak mau, juga tidak apa-apa! Tidak ada yang akan memaksamu.  Tidak ada ruginya, malahan dapat kenalan baru!”.

Begitulah garis besar cerita dari mimpi yang saya alami. Mimpi yang cukup kuat bahkan terjadi sampai tiga kali, mendorong saya untuk menulis dan mengirim surat perkenalan kepada Suster Barbara FCJ di Jogja.  Bulan September 2001, pertamakali saya berkunjung ke biara FCJ di Yogya.   Rumah FCJ Soropadan dibangun dengan sangat elok, dengan taman di tengah rumah dan banyak ruangan terbuka.  Saya terkesan pada pandangan awal namun sekaligus hati saya digelayuti oleh rasa cemas yang besar.  Juga rendah diri.  Saya pernah tinggal di kongregasi lain, apa kata para suster tentang hal ini? 

Dua tahun saya bolak-balik Jakarta-Yogya-Jakarta menggabungkan diri pada kelompok yang disebut d’Houet, yakni kelompok para perempuan yang berminat mengenal FCJ.  Semangat dan minat saya naik turun.  Satu tahun sejak kunjungan pertama, saya ditawari masuk menjadi postulan bersama tiga rekan lain dalam d’Houet.  Saya mengelak dengan alasan kuliah belum selesai.  Dua tahun pun berlalu, masih tanpa keberanian membuat keputusan.  Keterbukaan hati saya menipis bahkan ada waktu ketika saya menimbang untuk kembali pada pilihan semula : menjadi selibat awam. Titik.

Namun belum sempat saya menjatuhkan kepastian,  Sr. Marion bertanya apakah saya siap menjadi postulan.  Menimbang beberapa saat, saya menjawab ”Ya”.  Kalau saya ingat kembali, saya masih tidak mengerti mengapa waktu itu saya mengiyakan. Saya tidak menemukan alasan yang mencukupi untuk mengatakan ”Tidak”.  Malamnya dalam perjalanan kembali ke Jakarta, hati saya terasa hampa berisi kecemasan.  Namun setiap kali menengok ke dasar hati terdalam, saya merasakan ketenangan.  Damai.  Kedamaian lalu menjadi penanda bahwa ini keputusan yang benar.  Saya melemparkan diri ke dalam misteri yang bernama iman sebab tidak ada perhitungan apa pun yang secara manusiawi bisa  mendukung keputusan ini.  Bagaimana akan kujelaskan hadirnya perasaan tenang namun diselimuti oleh kecemasan dan ketidak pastian akan masa depan? 

Saya mengurus pengunduran diri saya dari tempat bekerja dan bersiap menuju Yogya.  Melaju dan menuju Yogya, perjalanan saya memutar terlebih dahulu melewati Toraja dan Lombok.  Saya masih berharap ada tanda yang memberi tahu mengenai kekeliruan keputusan ini. 
Suatu senja di Batutumonga Toraja. Tempat tersebut berkabut, tinggi dan indah.  Seluas mata memandang terdapat lembah yang sangat hijau. Saya berkata di dalam hati saya, ‘Tuhan, berilah saya suatu tanda!’. Saat itu saya masih bisa meraih kembali keinginan lama saya seandainya Tuhan tidak menghendaki saya masuk FCJ.  Hari untuk menuju Yogya sudah semakin dekat. Dada saya sangat sesak. Saya berteriak sekuat tenaga. Tidak ada tanda yang jelas kecuali rasa tenang di dasar hati dan undangan untuk percaya pada-Nya.  

Dari Toraja saya bertolak menuju ke Lombok, masih dalam rangka mencari tanda. Saya naik gunung Rinjani. Saya merasa tanda yang diberikan selama ini masih samar – samar dan saya ingin menegaskan, apakah yang saya pilih dan putuskan itu sesuai dengan yang Tuhan kehendaki?  Pertanyaan itu menjadi mantra yang terus menerus saya ucapkan sewaktu mendaki. Pada malam kedua pendakian, di dalam doa Tuhan menjawab,’Kamu tidak akan diberi tanda. Sekarang tanyakan kepada dirimu sendiri. Apa yang paling kamu inginkan dari hidupmu?  Apa yang kamu harapkan dari hidupmu?  Apapun yang kamu pilih akan Kuberkati.’ Rupanya Tuhan lelah juga menuruti kebimbangan saya.  Akhirnya saya menemukan bahwa tanda yang sebenarnya terletak pada relung hati terdalam – pada rasa tenang dan damai yang tidak mampu saya ungkap dalam kata.   Setelah itu saya tidak lagi bertanya mengenai tanda.

Saya merasa seperti diajak menyusuri jalan yang saya tidak kenal sementara jarak pandang saya cuma selangkah ke depan.  Yang saya lakukan hanyalah percaya sepenuhnya dengan tuntunan-Nya. Saya ikhlas dengan resiko atas keputusan yang saya buat. Saya menyadari akan keterbatasan daya – daya manusiawi saya  dalam menimbang dan mengambil keputusan.  Kalaupun saya membuat kekeliruan dalam mengambil keputusan, saya tahu saya tetap dalam tangan Tuhan.  Rasa damai tenang itulah tanda yang saya pegang.

Saat saya bergabung dengan FCJ, saya merasa lebih jauh lebih siap daripada ketika saya masuk biara pertama saya.  Saya sudah mengalami peristiwa paling gelap, dalam rahmat Tuhan saya bisa melewatinya. Seluruh masa lalu –khususnya masa gelap- sangatlah berharga karena membentuk saya menjadi seperti ini. Seperti bola saat dijatuhkan.  Semakin keras sebuah bola dijatuhkan, semakin tinggi pula daya lentingnya.  Dikeluarkan dari kongregasi pertama merupakan peristiwa kejatuhan saya pada jurang yang dalam dan keras namun itu pula yang memampukan saya melenting tinggi, lebih tinggi dari keadaan saya yang semula.  Jadi akhirnya, mengapa saya takut pada penderitaan jika ternyata itu bisa menjadi sarana yang menjadikan saya manusia yang lebih beriman?
            Saya mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 3 Januari 2010, bahagia dan bangga menjadi suster FCJ.  Cara Tuhan mendidik dan menyelami hati tetap tak terpahami.   Perjalanan saya untuk sampai ke tempat ini berliku-liku namun keindahannya tak terperikan. 


--------------